JAM-Pidum Menyetujui Restorative Justice, Perkara KDRT yang Menjerat Pasangan Suami-Istri di Kalimantan Timur

IMG-20250206-WA0164

WWW.INDONESIACERDASNEWS.COM |Kejaksaan Agung, Jakarta – Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose virtual dalam rangka menyetujui 3 (tiga) permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif) pada Kamis 6 Februari 2025.

Adapun salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap Tersangka Sapariyatno bin Abin Margo Budi (Alm) dari Kejaksaan Negeri Samarinda, yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Kronologi bermula dari adanya permasalahan ekonomi dalam rumah tangga antara pasangan suami isteri dalam pernikahan yang sah dan tercatat oleh Negara yaitu Tersangka Sapariyatno bin Abin Margo Budi (Alm) dan Korban sdri. Srianik Binti Sastro Pra Wiro berdasarkan Kutipan Akta Nikah Nomor 865/68/X/2002 tanggal 15 Oktober 2002 yang diterbitkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Balikpapan Selatan.

Kemudian pada hari Sabtu tanggal 23 November 2024, sekira pukul 13.00 WITA di rumah Saksi Korban Norsehan yang beralamat di Jalan Siradj Salman, Komp. Permata Hijau, RT. 026, Kelurahan Teluk Lerong Ilir, Kecamatan Samarinda Ulu, Kota Samarinda, yang merupakan tempat kerja korban sebagai Asisten Rumah Tangga.
Atas perbuatan yang dilakukan Tersangka tersebut, mengakibatkan pipi sebelah kiri Korban mengalami rasa sakit, bengkak dan memar kemudian Korban melaporkan kejadian yang menimpanya tersebut ke Kepolisian guna diproses lebih lanjut.

Berdasarkan hasil visum et repertum Nomor: 005/IKMFL/TU/I/2025 tanggal 10 Januari 2025 dari Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Wahab Syahranie yang ditandatangani oleh dokter ahli forensik dan medikolegal, dr. DEIBY T. INGGRID SAUMANA, Sp. FM dan dokter pemeriksa dr. NAFTANIA DWI INDRIANI bahwa telah dilakukan pemeriksaan medis terhadap Korban pada tanggal 24 November 2024, dengan kesimpulan pemeriksaan terhadap korban sebagai berikut: “Pada pemeriksaan ditemukan satu Iuka memar daerah pipi kiri, Iuka tersebut sesuai dengan perlukaan akibat persentuhan tumpul Iuka mengakibatkan kerusakan pada jaringan kulit,jaringan ikat,jaringan lemak. Luka tidak menggangu aktifitas keseharian dan tidak menggangu mata pencaharian”
Akibat dari perbuatan Tersangka, Terjerat Pidana Penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.15.000.000 (lima belas juta rupiah).

Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Samarinda Firmansyah Subhan, S.H., M.H., Kasi Pidum Muhammad Idham Syah, S.H., M.H. dan Jaksa Fasilitator Kevin Adhy Aksa, S.H. menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.

Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada Saksi Korban. Setelah itu, Saksi Korban menerima permintaan maaf dari Tersangka dan juga meminta agar proses hukum yang sedang dijalani oleh Tersangka dihentikan.

Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Samarinda mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur Dr. Iman Wijaya, S.H., M.Hum.,.
Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur Dr. Iman Wijaya, S.H., M.Hum. sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Kamis 6 Februari 2025.

Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:

* Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
* Tersangka belum pernah dihukum;
* Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
* Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
* Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
* Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
* Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
* Pertimbangan sosiologis;
* Masyarakat merespon positif.

“Kepala Kejaksaan Negeri Samarinda dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” pungkas JAM-Pidum.[Red]

Jakarta, 06 Februari 2025
Sumber: (Kepala Pusat Penerangan Hukum)