www.indonesiacerdasnews.com |Kejaksaan Agung,Jakarta – Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose virtual dalam rangka menyetujui 9 (sembilan) permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif) pada Kamis, 19 Desember 2024.
Adapun salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap Tersangka Hidayat Fahmi bin Ardiani dari Kejaksaan Negeri Barito Selatan, yang disangka melanggar Pasal 374 KUHP tentang Penggelapan dalam Jabatan Subsidair Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.
Kronologi bermula pada hari Sabtu tanggal 19 Oktober 2024 sekitar pukul 08.00 WIB, ketika Saksi Rahmita binti Hadliansyah, istri dari Saksi Korban Beni Setiawan bin Mulyadi yang merupakan pemilik usaha Istana Ayam Potong Hana Lisa, mendapatkan pesanan ayam potong sebanyak 60,25 kg dengan total harga Rp2.350.000 (dua juta tiga ratus lima puluh ribu rupiah) via telepon dari Saksi Wajiah binti Andarun.
Pada hari Minggu tanggal 20 Oktober 2024, Tersangka yang bekerja sebagai karyawan di usaha Istana Ayam Potong Hana Lisa, sedang berada di rumah Saksi Korban Beni Setiawan bin Mulyadi di Desa Bukit Rawi, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah. Tersangka mendapatkan perintah untuk mengantarkan ayam potong sebanyak 60,25 kg tersebut oleh Saksi Korban kepada Saksi Wajiah binti Andarun yang berlokasi di Desa Penda Asam, Kecamatan Dusun Selatan, Kabupaten Barito Selatan, Provinsi Kalimantan Tengah.
Kemudian, Tersangka menuju lokasi dengan menggunakan 1 (satu) unit sepeda motor Yamaha jenis N-Max warna merah dengan Nomor Polisi KH 5520 JK. Setibanya di lokasi, Tersangka menyerahkan pesanan ayam potong tersebut kepada Saksi Wajiah binti Andarun beserta nota pembeliannya, kemudian menerima uang hasil transaksi sebesar Rp2.350.000,00 (dua juta tiga ratus lima puluh ribu rupiah).
Tersangka langsung kembali ke rumahnya yang beralamat di Jalan Ibunda 3, RT. 025, RW. 003, Kelurahan Hilir Sper, Kecamatan Dusun Selatan, Kabupaten Barito Selatan, Provinsi Kalimantan Tengah untuk beristirahat. Kemudian, muncul niat Tersangka untuk menggunakan uang hasil penjualan ayam potong tersebut.
Tersangka mendepositkan seluruh uang hasil penjualan milik Saksi Korban tersebut sebesar Rp2.350.000,00 (dua juta tiga ratus lima puluh ribu rupiah) ke e-wallet milik Tersangka untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya yaitu membeli sembako, membeli susu anak, dan membantu membayar utang orangtua.
Kemudian, Saksi Korban menelepon Tersangka pada hari Minggu tanggal 20 Oktober 2024 sekitar 16.17 WIB untuk menanyakan uang hasil penjualan ayam potong tersebut yang tidak Tersangka setorkan. Namun, sampai dengan hari Rabu tanggal 23 Oktober 2024, Saksi Korban belum menerima uang hasil penjualan tersebut. Saksi Korban kemudian melaporkan Tersangka ke Polsek Dusun Selatan.
Bahwa akibat dari kejadian tersebut, Saksi Korban Beni Setiawan bin Mulyadi mengalami kerugian sebesar Rp2.350.000,00 (dua juta tiga ratus lima puluh ribu rupiah).
Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Barito Selatan Dr. Dino Kriesmiardi, S.H., M.H. dan Kasi Pidum Sya’bun Na’im, S.H., serta Jaksa Fasilitator Sya’bun Na’im, S.H., Rendy Bahar Putra, S.H., M.H., I Made Bayu Hadi Kusuma Widjaya, S.H., dan Dwi Suryo Wibowo, S.H. menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.
Dalam proses perdamaian, Tersangka diminta untuk mengganti biaya kerugian kepada Saksi Korban sebesar Rp. 2.350.000,00 (dua juta tiga ratus lima puluh ribu rupiah). Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada Saksi Korban. Setelah itu, Saksi Korban menerima permintaan maaf dari Tersangka dan juga meminta agar proses hukum yang sedang dijalani oleh Tersangka dihentikan.
Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Barito Selatan mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah Dr. Undang Mugopal, S.H., M.Hum.
Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Kamis 19 Desember 2024.
Selain itu, JAM-Pidum juga menyetujui 8 perkara lain melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu:
1. Tersangka Indah Komalayanti Ode alias Indah binti La Ode Muhammad dari Kejaksaan Negeri Baubau, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
2. Tersangka Nur Fadilah alias Dila binti Irwan Samad dari Kejaksaan Negeri Baubau, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
3. Tersangka Piqi Sahriar dari Kejaksaan Negeri Karangasem, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
4. Tersangka Misdi Santoso alias Hasan bin Jumain dari Kejaksaan Negeri Seruyan, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
5. Tersangka Maspil Yadi bin H. Husrani (Alm) dari Kejaksaan Negeri Murung Raya, yang disangka melanggar Primair Pasal 351 Ayat (2) KUHP Subsidair Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
6. Tersangka Wahyudin bin Mikrat (Alm) dari Kejaksaan Negeri Katingan, yang disangka melanggar Pasal 378 KUHP tentang Penipuan atau Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.
7. Tersangka Robin Anhar alias Robin bin Nasrul, yang disangka melanggar Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan jo. Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.
8. Tersangka Marlina binti Bagana dari Kejaksaan Negeri Rejang Lebong, yang disangka melanggar Pasal 335 Ayat (1) Ke-1 KUHP tentang Pengancaman.
Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:
– Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
– Tersangka belum pernah dihukum;
– Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
– Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
– Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
– Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
– Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
– Pertimbangan sosiologis;
– Masyarakat merespon positif.
“Para Kepala Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” pungkas JAM-Pidum. (K.3.3.1)
Jakarta, 19 Desember 2024
Sumber: Kepala Pusat Penerangan Hukum
Dr. Harli Siregar, S.H., M.Hum.
[Muhdi Khair]